Melbourne, Victoria, Australia Source: Google |
Hai! terima kasih karena masih mau membaca blog-ku ini.
Kali ini, saya libur dulu buat me-review produk, ah! hehehehe....
Sebagai gantinya, saya mau cerita mengenai pengalaman pertama saya belajar di luar negeri. Bagaimana serunya, apa saja yang paling membekas, dan lain lain. tapiiiiiii....... cerita yang saya sampaikan ini mungkin akan lebih condong ke sisi keseruan selama menjalani aktifitas, kali, ya. Ini sudah cerita lama, sebetulnya. Tapi karena kepanjangan, akhirnya baru terunggah sekarang, hehehe.
Oke lah, enjoy! semoga terhibur~
Masih segar rasanya dalam ingatan,
perasaan bangga sekaligus tidak percaya saat kulihat namaku dalam daftar
penerima beasiswa Kemenag. Aku sedang duduk di baris depan saat teman sekelasku,
Devia Fitaloka menghampiriku dengan wajah yang berseri-seri. Tampak antusias ia
menjelaskan bahwa kami berdua masuk kedalam daftar nominator penerima beasiswa
untuk tahun 2016. Setelah melalui proses seleksi yang panjang, semua perasaan
harap-harap cemas yang selama ini menghantui lenyaplah sudah. Setelah melalui
beberapa kali konfirmasi via telepon, akhirnya aku dan Devia diyakinkan bahwa
kami benar-benar lolos untuk program Student Mobility Program tahun 2016.
Perjalanan menuju keberangkatan kami
tidaklah mudah, hampir satu tahun kami menunggu kepastian mengenai tanggal
keberangkatan. Setelah melewati dua kloter keberangkatan Student Mobility
Program, akhirnya giliran yang kami tunggu tiba juga. Kebetulan kami
mendapatkan kloter keberangkatan ketiga. Tujuan utama kami adalah Deakin
University, Burwood Campus yang terletak di kota Melbourne, ibukota negara
bagian Victoria, Australia. Tak mampu lagi aku mengucap kata saat kuterima
pemberitahuan WhatsApp yang berisi
tanggal dan tujuan kami berangkat. Sekali lagi, penantian panjang yang disertai
perasaan harap-harap cemas lenyaplah sudah.
Jauh sebelum hari keberangkatan, aku dan
teman-teman Student Mobility Program (selanjutnya disingkat SM-PRO) sudah
dikumpulkan dan diperkenalkan secara daring lewat grup khusus di aplikasi WhatsApp. Di luar obrolan grup pun, kami
sudah saling mencoba untuk berkomunikasi secara pribadi walaupun belum semua
anggota grup kuajak bicara. Pada hari kami bertatap muka, kami sudah tidak
saling canggung. Walaupun masih terdapat sedikit rasa malu, tapi aku meyakinkan
diri untuk tetap percaya diri.
Sebagian peserta pertukaran pelajar, sambil menunggu pesawat tiba Lokasi: Ruang tunggu keberangkatan internasional Bandara Soekarno-Hatta |
Sabtu, 29 Oktober 2016 menjadi salah satu
dari sekian banyak hari yang tidak akan pernah aku lupakan. Di pelataran
Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta aku dipertemukan dengan rekan-rekan yang
nantinya akan menjadi teman, sahabat, sekaligus keluarga di perantauan. Senang
rasanya bisa berjabat tangan, saling melempar senyum, guyonan dan cerita secara
langsung tanpa harus repot bersenam jari diatas papan ketik. Syukurlah, mereka
semua sangat ramah dan mau menerima diriku apa adanya. Mereka semua jauh lebih
ramah dari apa yang selama ini aku bayangkan. Satu pelajaran yang bisa aku
petik, “jangan terlalu cepat menyimpulkan
sesuatu yang nampak di permukaan”.
Kiri-Kanan Aku (Billy), Kak Olin, Bryan |
Tepat pukul 17.20 pesawat yang kami
tumpangi lepas landas, sedikit kecewa saat kulirik ‘boarding pass’ milikku dan tahu bahwa aku duduk berjauhan dengan
rekan-rekan yang sudah cukup dekat denganku, tapi nampaknya sang Kuasa
mempunyai rencana yang jauh lebih baik. Di kursi pesawat, aku berkenalan dengan
rekan-rekan lainnya yang ternyata sangat ramah. Yang pertama, aku berkenalan dengan seorang mahasiswi asal Yogyakarta, Kharolin Hilda Amazona, yang selanjutnya akrab kupanggil mbak Olin. Beliau merupakan pribadi yang luar biasa, dengan pembawaan yang saaangggaaatt ramah. Di kursi seberang, duduk salah satu temanku yang berasal dari Surabaya, Brian Rizky Bimantara namanya. Kalau yang ini, kami sudah cukup sering mengirim pesan via WhatsApp, jadi tak lagi ada rasa canggung. Selama perjalanan, kami bercerita banyak mengenai
apa yang kira-kira akan terjadi di Melbourne nanti. Tak jarang kami melempar
gurauan dan tertawa lepas mencairkan suasana. Oh iya, yang duduk di sampingku sebenarnya ada satu orang lagi, Alvi Rahmi namanya. Beliau berasal dari Aceh, tapi sayangnya kami tidak sempat berswafoto di pesawat.
Sekitar pukul 19.00 WITA, kami mendarat di
pemberhentian pertama kami, Bandara Changi di Singapura. Sedikit lelah memang
terasa, tapi senda gurau yang tak kunjung berhenti membuat rasa lelah kami
terlupakan. Tak lupa, kami abadikan beberapa momen berharga yang sayang untuk
kami lewatkan begitu saja. Untuk sejenak, aku lupa bahwa kami baru bertatap
muka selama beberapa jam. Rasanya seperti sudah mengenal mereka selama
bertahun-tahun lamanya. Tak peduli akan rentang umur yang kami miliki, semua
melebur begitu saja menjadi gelak tawa.
Bandara Changi, Singapura lebih mirip mal, bukan? |
Pesawat yang akan kami tumpangi menuju
Melbourne mengalami sedikit kendala terkait jadwal, sehingga mengakibatkan
penundaan selama hampir satu jam. Alih-alih menunggu waktu menuju keberangkatan
selanjutnya, kami memanfaatkannya untuk berkeliling di area terminal 2 (psst,
Nampaknya bandara di sini lebih menyerupai pusat perbelanjaan ketimbang sebagai
sebuah bandara).
Sekitar pukul 21.50 WITA, aku dan
rekan-rekan lainnya pun melanjutkan perjalanan menuju kota tujuan kami,
Melbourne. 7 jam lamanya aku harus duduk di kursi pesawat, tetapi rasa lelah
yang menggelayut membuat kantuk cepat menyerang. Alhasil, dua per tiga waktu
perjalanan kuhabiskan dengan tertidur.
Melbourne dari jendela pesawat |
Kilometer demi kilometer kian terpangkas
beriringan dengan turunnya ketinggian pesawat yang kami tumpangi. Dari jendela,
nampak hamparan hijau rumput terbentang bak permadani diatas tanah. Ini
menandakan bahwa kami telah tiba di kota tujuan kami. Senang dan tidak percaya
rasanya bahwa akhirnya aku bisa benar-benar menginjakkan kaki disini.
Selepas mengurus bagasi dan persyaratan
lainnya, tiba saatnya aku benar benar menginjakkan kaki diatas tanah bumi
kangguru ini. Kesan pertama bagiku di sini ialah BERANGIN. Ya! Berangin. Bukan
angin sepoi sepoi, bukan pula angin topan, melainkan hembusan angin dingin yang
cukup kuat untuk merebut sebuah kertas dari genggaman.
Di depan kami berdiri seorang pemuda,
perawakannya tegap, dan berwajah oriental. Aoran namanya. Dengan ramah ia
memperkenalkan dirinya. sesuai petunjuk dari ibu Efin via WhatsApp, beliau merupakan orang yang bertugas mengantarkan kami ke
asrama tempat kami tinggal.
Sepanjang perjalanan menuju asrama, mataku
disuguhkan dengan pemandangan yang selama ini hanya kulihat melalui dunia maya.
Hamparan rumput hijau yang saling berbisik, pohon-pohon yang tersenyum, bunga
bunga yang melambai, juga burung-burung yang bersenandung seolah menyambut
kehadiranku. Tak hentinya aku berdecak kagum dengan keindahan kota Melbourne.
Sambil menikmati perjalanan, aku melamun.
HAYS International College (1) Tempat menginap |
Lamunanku terhenti saat bus yang
kutumpangi berbelok menuju jalan Hay. Tandanya, asrama yang kutuju sudah dekat.
Sesampainya di asrama, kami dipecah dan dibagi kamar masing-masing. Saat itu,
rekan sekamarku adalah Bryan. Kami mendapatkan kamar nomor 46. Lokasi dari
kamarku sendiri cukup strategis, dekat sekali dengan kamar mandi dan pintu
keluar.
HAYS International College (2) |
Kartu Myki |
Selepas beristirahat dan mengganti baju, pak
Mizan, pembimbing kami, membagikan kartu Myki
untuk kami gunakan selama kami berada di Melbourne. Myki sendiri adalah kartu yang wajib digunakan untuk menggunakan
moda transportasi umum berupa bus kota, tram, dan kereta Metro. Tanpa “kartu ajaib” tersebut, kami tidak akan bisa
menggunakan transportasi apapun. Oh ya, kebetulan kartu yang kami gunakan
adalah kartu khusus turis yang sudah diisi sebesar AUD39.00 (dengan pajak, AUD45.00), paket unlimited 7 hari yang berarti selama 7
hari kedepan kami bebas pergi kemanapun tanpa harus mengisi ulang saldo
kartunya.
Usil hari pertama Dalam gambar: Hendro |
Sebagai mahasiswa dengan jiwa ‘usil’, aku
tidak mau diam saja begitu menerima “kartu ajaib” tersebut. Dengan ditemani
Bryan, Hendro, dan Abdul Gani, kami mencoba mencari tahu jalur yang tepat
menuju Deakin University, tempat dimana kami akan belajar keesokan harinya.
Dengan slogan ‘modal nekat’ kami pun bergegas menyusuri jalan menuju tempat
pemberhentian bus. Sepanjang jalan Canterbury, kami menemukan beberapa pemberhentian bus. Dengan berbekal instruksi
dari Prof. Ismet Fanany dan Prof. Rebecca Fanany, kami mencari pemberhentian
bus menuju Deakin University. Saat itu kami sudah berjalan cukup jauh saat kami
melihat sebuah bus akan berbelok ke arah kiri. Kami berasumsi bahwa bus itulah
yang akan kami tumpangi. Sekitar 5 menit menumpang bus, kami mulai gelisah.
Kampus yang kami tuju belum juga terlihat. Takut tersesat terlalu jauh, kami
pun memutuskan untuk berhenti di jalan besar terdekat.
Setelah turun dari bus, kebingungan masih
belum berakhir. Hendro, yang saat itu hendak membeli sesuatu mencetuskan ide
untuk mencari K-Mart, sejenis supermarket besar dimana segala kebutuhan sehari-hari
tersedia dengan harga yang miring. Atas penjelasan Prof. Rebecca sebelumnya,
K-Mart berlokasi tidak jauh dari Deakin University, hanya berjarak 3 stasiun
tram. Hanya saja, saat itu kami belum mampu menentukan posisi kami berdiri
menghadap arah angin yang mana, sehingga kami kebingungan untuk mengambil arah
kiri atau kanan. Dengan bermodal insting, kami berjalan menuju arah kanan (yang
sebenarnya menjauhi Deakin maupun K-Mart!). 15 menit berjalan, kami mulai putus
asa. Bangunan yang dimaksud belum juga terlihat di ujung mata. Kami berasumsi
bahwa kami tersesat. Kami pun memutuskan untuk kembali ke asrama, dengan
berjalan kaki sejauh ± 2 mil.
Merasa tidak kapok, sore harinya kami
kembali menjajal jalanan Box Hill, namun kali ini bersama-sama dengan rekan-rekan
dan pembimbing. Alasan kami semua pergi adalah “supaya besok tidak kaget dengan rute”. Saat menaiki bus (yang kali
ini aku yakin tidak akan salah) barulah aku tahu bahwa tadi siang aku dan
teman-temanku mengambil jalan (saat berjalan kaki) menjauhi Kampus, dan
seharusnya kami tidak turun dari bus, karena bus yang kami tumpangi sudah
tepat. Rasanya menyesal karena terlalu terburu-buru turun dari bus.
Gedung ikonik Deakin University **Narsis mode: ON** |
Deakin University dari sudut berbeda |
Sesampainya di Universitas Deakin, mataku
kembali terbelalak. Gedung kampus yang dimaksud sangat megah, luas dan modern.
Jauh lebih indah dari bayanganku. Kami sempatkan mengambil beberapa foto untuk
kami abadikan. Setelah 15 menit, aku, Bryan, Hendro (namanya cuma Hendro, aseliiiiii) dan Lusiana Dwi Ariani (Ana) pamit untuk
memisahkan diri. Alasan yang sama dengan tadi siang, kami ingin membeli
beberapa barang di K-Mart. Memilih moda transportasi tram, kami berasumsi bahwa
kami tidak akan salah karena tram hanya memiliki satu rel, tidak akan belok
tanpa diprediksi (trauma dengan bus).
Satu, dua stasiun tram kami lewati. Saat
di jendela sebelah kanan kulihat tulisan “Shopping Centre” terpampang di tembok
sebuah bangunan. Kuasumsikan shopping
centre tersebut sebagai K-Mart. Kami
pun turun di stasiun tram terdekat. Masih terekam jelas dalam otak bahwa aku
membaca plang ‘Blackburn Road’ di seberang jalan. Firasatku
berkata kalau ini bukanlah K-Mart yang dimaksud. Kami berjalan mendekati Shopping centre tersebut. Benar saja, tidak terdapat tulisan K-Mart di sisi
manapun dari pusat pertokoan tersebut.
Pasca tidak berhasil menemukan K-Mart lokasi: Halte Tram 70, Blackburn Rd. |
Perdebatan sengit mengenai K-Mart tidak
berhenti disitu. Kami berdebat. Ada yang mau melanjutkan naik tram ke arah
tempat kami turun, ada yang ingin pergi ke arah sebaliknya. Setelah berulang
kali membaca peta, kami memutuskan untuk pergi ke Flinders Station di pusat
kota. Kami kembali mengambil tram tapi ke arah sebaliknya.
Dengan tawa kecil kami melanjutkan
perjalanan. Kala itu tram tidak terlalu penuh. Di stasiun Camberwell, kereta
berbelok dan berhenti. Kami kebingungan karena saat itu tram tidak ada
penumpang. Dalam keadaan bingung kami berempat memutuskan untuk turun. Dalam
derap langkah pertama kami, angin berhembus sangat kencang. Udara berubah
menjadi dua kali lebih dingin dari udara di dalam tram. Sempat kulirik
handphone ku dan melihat angka 7 di layar handphone ku. YA! 7 derajat celsius!
Suhu yang amat dingin bagiku, seorang warga yang tinggal di daerah tropis
seperti Indonesia. Temanku Hendro ternyata mengenakan pakaian yang cukup tipis,
sehingga udara Camberwell cukup merepotkan baginya.
Sambil menggigil kedinginan, mencari arah pulang Lokasi: Sekitaran Camberwell |
Di tengah kebingungan kami termenung.
Sembari “menikmati” udara yang amat dingin, kami mencari stasiun tram terdekat.
Kami berusaha untuk pulang. Kedatangan tram yang saat itu dijadwalkan pukul
21.40 terasa sangat lama bagi kami. Bagaimana tidak? Kami harus menunggu di
pinggir jalan, di tengah kota Melbourne sekitar pukul 21.20 dengan kondisi
belum terbiasa akan udara dingin yang menerpa. Sesekali kulirik para pejalan
kaki yang lewat menggunakan pakaian serba tipis dan berpikir apakah mereka
tidak merasakan dinginnya malam itu. Sampai kesunyian terpecah kala temanku Ana
mengucap janji akan memasakkan kami bertiga mi instan apabila tram lekas
datang. Kami bertiga tak bisa berkata apa-apa selain mengamini kalimat yang
baru saja Ana lontarkan.
Tak berapa lama (walaupun saat itu waktu
terasa sangat pelan bagi kami berempat) kemudian tram datang, kami menyambutnya
bak menemui artis papan atas. Segera kami ‘touch
on’ kartu Myki masing-masing dan duduk tanpa ekspresi.
Pizza time! pasca kedinginan Lokasi: Domino's Pizza Burwood |
Merasa lapar, kami berempat turun di
stasiun tepat di depan Universitas Deakin. Kami berjalan ke arah Domino’s Pizza
dan memesan sebuah pizza untuk nantinya kami makan di asrama.
Setelah membayar dan mengambil pesanan,
segera kami langkahkan kaki menuju stasiun bus. Kutengok jam di layar handphone
dan menunjukkan pukul 22.05. Gurat kekecewaan terlihat jelas di wajah kami
berempat. Bagaimana tidak? Sudah tidak ada lagi jadwal bus yang tersedia, itu
berarti kami harus jalan kaki menuju asrama. Dengan energi yang tersisa, kami
berjalan sejauh ± 6 mil menuju asrama.
Setiba di asrama, rasa cemas menghampiri.
Kami takut jika salah satu dari pembimbing kami akan memarahi kami karena
pulang paling akhir. Syukurlah, yang kami takutkan tidak terjadi. Bagai seorang
anak membujuk ayahnya, kami berempat setuju untuk membagi pizza kami dengan
para pembimbing (akal-akalan kami saja, sih, supaya tidak kena semprot).
Merasa masih lapar, kami bergegas ke dapur
untuk memasak mi instan. Sesuai janjinya, Ana yang memasakkan mi instan untuk
kami bertiga. Tak disangka, banyak rekan (yang tidak ikut tersesat) sudah
berada di dapur. Mereka menghujani kami dengan pertanyaan ‘dari mana saja kalian?’, ‘kok
pada misah?’, dan ‘nyasar ya?’.
Tak ada satu katapun keluar dari mulut kami selain menebar senyum bak ‘kuda
nyengir’.
Di ruang kelas, mendengarkan kuliah Prof. Ismet Fanany, asal Indonesia yang menjadi WN Australia |
Hari kedua, kami semua memulai kegiatan
perkuliahan perdana di kampus. Tak ada lagi acara ‘tersesat’, kami dengan
antusias mendengarkan narasumber menyampaikan materi materi yang kuyakini
sangat bermanfaat bagi kemajuan diri sendiri maupun orang banyak.
Hari ketiga, aku dan rekan-rekan semua
ditemani oleh Prof. Ismet Fanany dan Prof. Rebecca Fanany pergi mengunjungi
Healesville Sanctuary, semacam tempat konservasi binatang dengan konsep yang
sangat bersahabat bahkan untuk balita sekalipun.
Sebelum masuk Healesville Sanctuary |
Kejadian konyol yang kuyakini tak akan
pernah kulupakan kembali terjadi disini. Kejadiannya terjadi di kandang dingo,
sejenis hewan mirip anjing namun lebih liar dan ganas. Sebelumnya, pembimbing
kami membebaskan kami untuk berkeliling. Kembali aku bergabung dengan Bryan,
Hendro, dan Ana menyusuri kebun binatang. Tepat di depan kandang dingo, Ana
mendekat dengan antusias dan menyodorkan kamera ke arah hewan berwarna putih di
depannya. Sambil terus bergumam, Ana mengambil potret hewan yang sedang asyik
tertidur itu. Sempat ia menyebut keidentikan hewan tersebut dengan anjing. Di
tengah ‘kekhusyukan’ mengagumi hewan cantik tersebut, seorang berkulit putih
(aku berasumsi ia warga asli Australia) menepuk pundaknya dan mengatakan bahwa
yang sedang ia foto adalah benar-benar anjing! Sementara dingo yang dimaksud
berada di kandang sebelahnya. Dengan wajah memerah Ana berterima kasih dan
segera mengajak kami menjauh dari kandang dingo, mungkin ia merasa malu dengan
kejadian yang baru dialaminya
.
menikmati es krim di tengah hijaunya Yarra Valley Lokasi: Yarra Valley Chocolatier |
Sepulang dari Healesville, tidak lantas
kami pulang ke asrama. Di jalan pulang, kami menyempatkan diri untuk mampir ke
Yarra Valley Chocolatier, sebuah pabrik cokelat di utara Melbourne. Sesuai
dengan namanya, Yarra Valley Chocolatier terletak di tengah tengah perbukitan.
Yang cukup mengagetkan, udara di Yarra Valley tidak sedingin di pusat kota
Melbourne. Aku menikmati potongan coklat gratis dan berkesempatan mengintip
proses pembuatan cokelat khas perbukitan Yarra. Tak lupa aku menyempatkan
membeli es krim lembut yang melengkapi indahnya pemandangan perbukitan.
On frame: Hendro, Ana, Hafsah, Bryan, aku Nyempil: Devia |
Masih belum kapok dengan perjalanan
hari-hari sebelumnya, aku dan rekan-rekan kembali menjajal ‘ganasnya’ kota
Melbourne dengan tujuan yang sempat tertunda, Flinders Station. Kali ini tidak
hanya berempat, namun Devia dan Hafsah Khairunnisa memutuskan untuk bergabung. Kembali tawa
terpecah kala mengetahui seharusnya kami tidak turun di stasiun Camberwell,
karena tram yang kami tumpangi sudah tepat dan akan terus berlanjut ke tujuan
utama kami. Berkaca dari pengalaman yang sudah-sudah, bagaimanapun juga kami
tidak akan turun dari tram sebelum melihat tujuan kami. Kami pun mengambil
pamflet yang berisi rute tram beserta jadwal kedatangannya, berjaga-jaga jika
kami masih mau berjalan-jalan menggunakan tram.
Narsis (lagi) di halte Flinders |
Benar saja, dari kejauhan
bangunan pencakar langit mulai menampakkan wujudnya. Itu berarti pusat kota
sudah di depan mata. Kami turun tepat di depan stasiun Flinders. Dengan mata
menyala-nyala, kami berenam tak henti henti berdecak kagum dengan kondisi jalan
di depan kami. Kota yang modern, canggih namun tetap asri seolah menyihir kami
sehingga kami tak mampu lagi berkata-kata. Dengan sigap satu persatu dari kami
mengeluarkan kamera dan mengabadikan momen. Raut wajah bahagia tak bisa lagi
kami sembunyikan.
Akhirnya, K-Mart! Lokasi: Lorong Makeup K-Mart Burwood |
Kembali dari Flinders Street, tak lantas
kami pulang ke asrama. Masih ada satu rasa penasaran lagi yang belum kami
tuntaskan, K-Mart! Oleh karena itu, kami tidak lantas turun di stasiun depan
Universitas Deakin, kami melanjutkan perjalanan ke stasiun-stasiun selanjutnya
hingga tiba tepat di depan K-Mart. Hore! Kami tidak lagi tersesat!
kelamaan nunggu Devia, Foto aja dulu... Lokasi: 7-Eleven Blackburn (maafin mukanya plis) |
Sepulang dari K-Mart, kami memutuskan
untuk turun di stasiun Blackburn. Ya! Stasiun tempat kami turun saat pertama
kali naik tram. Rupanya akan lebih dekat mencapai asrama menggunakan jalan
Blackburn. Tak lagi kami temui bus lewat, tapi sudah kami prediksi sebab kami
pulang diatas jam 22.00. di tengah jalan, kami menemui minimarket 7-Eleven dan
memutuskan untuk membeli Slurpees, sejenis minuman bersoda dengan banyak
pilihan rasa yang menyegarkan (dan murah, hanya AUD 1). Kami berkeliling dan Devia
memutuskan untuk mencoba membeli kartu operator lokal Australia, agar ia tak
lagi mengandalkan jaringan nirkabel gratis yang agak sulit ditemukan. Sayang
seribu sayang, prosedurnya tidak memungkinkan untuk langsung mengaktivasi kartu
di tempat. Devia memutuskan untuk tidak jadi membeli kartu operator seluler
tersebut.
kira kira begini kronologisnya |
Kecerobohan kembali terjadi kala tidak
satupun dari kami bisa menentukan arah angin tempat kami berdiri. Kami pun lupa
dari arah mana kami datang. Kami berenam pergi ke arah kanan 7-eleven. Jauh
berjalan, tak juga kami temukan plang bertuliskan ‘Hay Street’. Yang kami
temukan malah sebuah gerai McDonald’s. Aku tidak ingat melewati McDonald’s
dalam perjalanan menuju asrama. Kami memutuskan untuk kembali ke dalam 7-eleven
dan bertanya pada kasir yang beretnis india itu lalu ia menunjukkan arahnya.
Singkat cerita, kami mampu mencapai asrama walaupun kala itu waktu sudah
menunjukkan lewat tengah malam.
Keesokan harinya, kami kembali menjalani
kegiatan perkuliahan. Dengan narasumber dan topik yang berbeda, kembali aku
menjadi sangat antusias dalam menyimak materi demi materi yang disampaikan.
Hari ini kuputuskan untuk tidak pergi kemana-mana, karena badanku terasa sangat
lemas.
Sehari setelahnya, badanku mulai terasa
lebih bugar. Rupanya obat yang kuminum bekerja lebih cepat. Hari ini
dijadwalkan untuk mengunjungi pusat kota, tempat yang sebenarnya sudah tidak
asing karena sebelumnya aku sudah menjelajahi sebagiannya.
Turun dari tram, aku merasa tidak ingin
beranjak dulu, entah kenapa. Rupanya rekanku Yuli dan Sabar masih berdiam di
halte sementara yang lain sudah pergi menjauhi stasiun menuju Queen Victoria
Market. Sempat kutanyakan kenapa Sabar tidak bergabung, rupanya ia sedang
menunggu kakak kelasnya yang berkesempatan kuliah di Universitas Monash.
Beruntungnya aku bisa turut berkenalan dengannya. Ana namanya. Oh, bukan! Bukan
Ana ‘dingo’! Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di Australia. Mbak ana ini dulunya satu almamater dengan Sabar, beliau mengambil studi TESOL (Teaching English for Speakers of Other Language), masih nyambung dengan jurusanku, Pendidikan Bahasa Inggris. Sekilas tentang mbak Ana, beliau ini merupakan pribadi yang sungguh menyenangkan, baru saja kenal tapi sudah bisa akrab. Beliau juga sangat ramah pada siapapun, padahal selama di Melbourne kemarin aku cukup merepotkan (banyak request, mau kesini kesitu, hihi). Bercerita banyak dengan mbak Ana, aku banyak belajar. Jadi semakin kagum dengan sosoknya yang bersahaja. Ah, kalau mbaknya membaca ini, semoga dalam keadaan sehat selalu ya, mbak! hihi... Sungguh banyak pelajaran yang bisa kupetik dari mbak Ana.
Kiri-Kanan: Yuli, Mbak Ana, Sabar, Aku Lokasi: Halte Tram Queen Victoria Market |
Perjalanan kami mulai berempat, aku,
Sabar, Yuli, dan Mbak Ana. Kami terpisah cukup jauh dari rombongan sehingga
kami memutuskan untuk pergi berempat saja, toh mbak Ana sudah hafal daerah
pusat kota. Tujuan pertama kami adalah mencari titik foto yang unik. Sebagai seorang
dengan tingkat ‘narsis’ yang tinggi aku tidak ingin melewatkan setitikpun
tempat foto yang kurasa bagus untuk kumasukkan kedalam album virtual di akun instagram milikku.
Pasar tradisional, tapi rapi! Lokasi: Queen Victoria Market |
Puas berfoto, kami berempat melanjutkan
perjalanan ke Queen Victoria Market,
pasar tradisional yang menjual berbagai macam sayur, daging, buah, dan souvenir
khas Australia. Tempat ini menjadi primadona bagi para turis domestik maupun
mancanegara yang ingin membawa buah tangan khas negeri kangguru, tentunya
dengan harga yang lebih murah dibandingkan toko souvenir di pusat kota.
Puas berbelanja, tak lantas kami pulang ke
asrama begitu saja. Kami berempat memutuskan untuk menjajal tempat lainnya di
pusat kota. Kali ini Alfiatu Rahmah dan Ana ‘dingo’ memutuskan untuk bergabung. Kami
berenam mengunjungi Victoria State Library, perpustakaan negara bagian dengan
bangunannya yang khas dan ikonik. Tujuanku hanya satu, ingin mengunjungi ‘great
dome’ di tengah tengah perpustakaan. Sempat kubaca melalui beberapa situs,
konon katanya titik tersebut menjadi sesuatu yang ‘must-try’ alias wajib hukumnya untuk dicoba.
‘The
Great Dome’ terletak di lantai 4 perpustakaan. Satu-satunya akses menuju dome adalah menggunakan elevator.
Kekonyolan kembali terjadi disini. Pertama-tama, kami tak mencurigai apapun.
Aku, Sabar, Yuli, Alfiatu, dan Ana memasuki elevator, mbak Ana tidak ikut
bersama kami karena ia harus mengisi ulang telepon pintarnya. Dengan percaya
diri kutekan angka 4 di dalam elevator, pintu elevator pun menutup. Tak
kurasakan elevator tersebut bergerak. Kuputuskan untuk menekan kembali angka 4,
namun pintu elevator malah terbuka. Kami pun keluar dengan menunjukkan wajah
kasual, tidak ingin terlihat udik. Dengan berbisik kami bertanya-tanya, kenapa
elevator tak kunjung bergerak. Sebagai manipulasi, kami berpura pura
berkeliling di area perpustakaan lainnya. Setelah dirasa aman, kami kembali
mencoba menaiki elevator namun kali ini Sabar yang menekan tombolnya. Nihil,
kembali elevator tak bergerak. Kami kembali bersikap kasual, seolah-olah tak
ada yang terjadi. Kami berlima memutuskan untuk kembali ke tempat mbak Ana
mengisi ulang daya teleponnya. Kami menceritakan pengalaman kami dengan
terheran-heran. Mbak Ana pun tidak mengerti kenapa elevator tak mau bergerak.
Asyik bercerita, mataku terfokus pada videotron yang menempel di salah satu
pilar perpustakaan. Tertulis dengan jelas, “dome opens mon-fri, 8 AM-4 PM” lalu
kulirik layar handphone dan tertulis dengan SANGAT JELAS, 16.27. rupanya dome
yang hendak kami kunjungi sudah tutup! Konyol rasanya mengingat beberapa kali
kami menekan tombol elevator yang ternyata sudah tidak beroperasi karena sudah
diluar jam operasional. Dengan tertawa terbahak-bahak kami berenam keluar dari
gedung. Nampak penjaga menatap kami dengan wajah heran, mungkin menduga-duga
apa yang terjadi pada keenam warga asing di hadapannya.
sambil menunggu Metro tiba in frame: Yuli Ningsih |
Puas menertawakan diri sendiri, kami
bergegas ke Flinders Station. Kami
berencana untuk pulang dengan menumpang Metro,
sebuah kereta api. Senang rasanya, karena akhirnya aku berkesempatan menumpangi
semua moda transportasi yang tersedia di Melbourne, bus sudah, tram sudah,
sekarang kereta api. Masih menggunakan “kartu ajaib” Myki kami menumpangi kereta jurusan Lilydale dan turun di stasiun Box
Hill.
menikmati 'hangatnya' kota Melbourne Lokasi: Depan Victoria State Library Kerudung merah: Binna |
Jumat, 4 November 2016 menjadi hari
terakhirku di kota Melbourne. Kami menjalani perkuliahan hari terakhir dengan
emosional. Tidak sedetikpun mau kulewatkan momen langka ini. Usai perkuliahan,
aku, Binna, dan Ana pamit untuk menjajal pusat kota Melbourne untuk terakhir
kalinya sebelum esok terbang ke Indonesia. Kami kembali ke Queen Victoria
Market untuk membeli buah tangan yang ‘terlupakan’. Tak sedetikpun kami
berkedip, tak mau melewatkan nikmatnya udara Melbourne. Puas berjalan-jalan,
kami bertiga mencoba beberapa kuliner jalanan. Kami kembali pulang menumpang Metro. Tidak ada acara pulang tengah
malam, karena pukul 19.00 acara farewell
party akan dimulai.
Secuil dari farewell party Lokasi: HAYS International College |
Pukul 19.30 acara dimulai. Prof. Ismet
Fanany dan Prof. Rebecca menyampaikan beberapa hal mengenai kedatangan kami,
para pembimbing kami pun menyampaikan hal yang sama. Tak kuasa aku membendung
airmata, pecahlah tangis haru, bahagia, sekaligus sedih karena harus
meninggalkan Melbourne. Di sisi lain, aku dan yang lain masih belum percaya
bahwa kami benar-benar berada di Melbourne. Usai pembagian sertifikat, sebagai bukti
kami telah menyelesaikan short course,
kami berpelukan dan saling mengucap salam selamat tinggal, karena hal yang sama
tidak mungkin terjadi dua kali. Selanjutnya, rekan-rekan yang lain akan kembali
ke seluruh penjuru Indonesia, melanjutkan studi yang mengamuk minta
diselesaikan.
Aku selalu percaya, tidak ada yang tidak
mungkin. Bisa pergi ke luar negeri yang dulu hanya angan-angan, kini menjadi
kenyataan. Seorang anak kampung yang dulu hanya bisa bermimpi, kini membayar
tunai salah satu mimpi besarnya.
Untuk teman-teman, pembimbing, dan para
mentor, terima kasih atas waktunya yang berharga. Terima kasih atas pengalaman
yang tak akan terlupakan. Tanpa bisa dihentikan, waktu akan terus bergulir,
namun kenangan tak akan pernah bisa dihapuskan. Aku percaya, waktu yang akan
pertemukan kita kembali. Dan saat itu terjadi, aku percaya, sayap-sayap yang
sempat tertunda akan mengembang lebar dan membawa kalian terbang sejauh mimpi
kalian. Teruslah bermimpi, dan kejar mimpimu wahai sahabat! Aku bangga, bisa
memanggilmu keluargaku yang baru.
Kiri-Kanan: Kakak yang ngasih password WiFi (semoga baca ya kak haha), Bu Yuvi, Alvi Rahmi, yang merem mukanya ngga jelas :( Hafna, dan mbak Juharny |
Sebagai penutup cerita ini, aku ingin berterima kasih pada ke-28 rekan rekan Student Mobility Program, MAAF belum bisa kusebutkan satu per satu, kalian kebanyakan :'))
Untuk Bu Yuvi Andriani, terima kasih juga atas sharing-nya. maaf belum ter-sebut hehehe... Kakak yang ngasih password WiFi di University of Melbourne, aku lupa namamu! Maafin :(
Dan yang pasti, Mbak Ana STNK! thank you, mbak! maafkan adikmu yang udik ini, hahaha. juga untuk Bu Efin, walau beliau nggak ikutan berangkat, you are so helpful! Terima kasih, bu!
THANK YOU FOR READING
SEPENGGAL FOTO SISA
(masih ada ratusan, sih, tapi yaaaaa ngga bisa semua masuk)
Swanston Street, Melbourne |
Partner in Crime: Minus Hendro |
Foto bersama Lokasi: University of Melbourne |
Sisi lain Melbourne |
Dapur penuh kenangan |
Yay! Sertifikat tanda berhasil melalui perkuliahan! |
Seluruh peserta pertukaran, professor, pembimbing dan mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Deakin University |
Billyyyyyyyy... I'm crying ="
BalasHapuscrying teringat dosa ya? hahahhaa
HapusThanks Billi. Kau sebuat namaku dalam ceritaku. I do appreciate it. Heehhe. Tak share ke mbm ana ya linkmu ini. Tq
BalasHapusthank you kak sabar, please do. semoga mbaknya senang bacanyaa hihi
HapusYa ampun Billyyy.. bikin baper bangets n' pengen mewek :'( Semoga the next post-nya Billy cerita tentang perjalanan Eropa yak hhh aamiin
BalasHapusaamiinn, til we meet again ana!
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBillyyy... aku baru baca tulisanmu, mewekk abisss, kangen kalian semua ma smpro family, makasih q udh disebut hihihi, sukses selalu ma lil bro yg multitalent, ditunggu kisah2 luar biasa selanjutnya, sukses selalu & see you on top ^^
BalasHapusI lose my words :'( I miss you so damn guys! Thank you Billy for remembering me about our story in Melbi.
BalasHapus